KEPALA SEKOLAH BESERTA DEWAN GURU DAN STAF SDN KABUH II

KEPALA SEKOLAH BESERTA DEWAN GURU DAN STAF SDN KABUH II
Mencetak Generasi Unggul Dalam Prestasi Yang Dilandasi Iman dan Taqwa

Minggu, 11 September 2011

Sambandha: Aksara-Aksara di Nusantara (Dwipantara)

SP.com - Sejarah mencatat bahwa aksara tertua di Nusantara (Asia Tenggara umumnya) disebarluaskan seiring dengan menyebarnya agama Buddha, jenis aksara yang semula dipergunakan untuk menulis ajaran. mantra-mantra suci atau teks-teks dengan jenis aksara yang dipakainya disebut Sidhhamatrika, disingkat Siddham. Tetapi sarjana Belanda lebih menyukai istilah Prenagari (Damais 1995; Sedyawati 1978).

Jenis aksara inilah yang kemudian berkembang di Asia Tenggara walaupun hanya terbatas atau terpatri, untuk menulis teks-teks keagamaan pada media tablet, materai atau stupika yang dibuat dari tanah liat (bakar atau terracotta) atau dijemur dan dikeringkan matahari. Objek tekstual jenis ini hampir dipastikan tidak atau jarang disertai unsur pertanggalan, karenanya sulit ditentukan periodenya secara tepat. Namun melalui analisis palaeografis yakni perbandingan kemiripan tipe, gaya, bentuk aksara dari zaman ke zaman, maka khusus aksara pada tablet, meterai atau stupika yang ditemuakan di Asia Tenggara diperkirakan dari sekitar abad pertama sampai ketiga Masehi (A.D). Di Nusantara benda-benda seperti ini ditemukan di Sumatra, Jawa dan Bali dengan menggunakan bahasa Sanskrta.

Aksara yang kemudian lebih populer di Nusantara adalah aksara dari (dinasti) Pallava (India selatan) selanjutnya disebut aksara Pallawa (saja), Juga memiliki kecenderungan tidak menyertakan unsur pertanggalan, dijumpai pada prasasti tujuh Yupa (tugu peringatan kurban) kerajaan Kutai (Kalimantan timur) yang diperkirakan dari tahun 400 Masehi dan sejumlah prasasti dari kerajaan Tarumanagara (Jawa Barat) tahun 450 Masehi.

Kedua kerajaan yang cukup jauh letaknya sama-sama mengggunakan aksara Pallawa-Grantha dan bahasa Sanskrta dengan gaya khas inovasi-nya. Prasasti-prasasti masa Tarumanagara (tujuh) dipahatkan pada batu alam. Khusus prasasti Ciaruteun dan Muara Cianten (Kampung-muara), di tepi (sungai) Cisadane dan Cibungbulang (Bogor), Jawa Barat, disusun dan ditata dengan metrum (sloka) Sanskrta; ada juga yang berpahatkan pilin, umbi-umbian dan sulur-suluran. Beberapa sarjana menyebut pahatan pilin, umbi, dan sulur-suluran itu sebagai bentuk aksara khusus yang disebut kru-letters, conch-shell-script atau aksara sangkha. Sejauhmana kebenarannya, yang jelas pilin, pilin gandha ataupun sulur-suluran merupakan citra gaya seni geometris yang paling tua dikenal manusia di bumi Nusantara, sebelum dikenal aksara (Djafar 1978).

Ragam hias yang kemudian lebih banyak ditemukan sebagai indegenous khusunya berkembang di beberapa daerah di Sulawesi “Garonto Passura” . Karakter-karakter yang memiliki keistimewaan sebagai hasil dayacipta setempat yang telah sangat tua yang dikembangkan di alam dan lingkungan kebudayaan yang didasari kemapanan kreativitas dan berkembang sesuai kondisinya. Ciri perkembangan inilah yang kemudsian menjadi complicated sebab setiap individu atau kelompok masyarakat dari suatu lingkungan kebudayaan memiliki konsep-konsep untuk mengembangkan gaya dan bentuk aksara selanjutnya melahirkan tipe-tipe khas pendukung budaya. (Rah)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar